SE MA RANG


Bulan April, pertama kalinya saya ke Semarang. Masih teringat, angan mama yang sempat melintas saat berada di kota asal kami, yakni Cilegon, “kapan ya, mama bisa ke Semarang?”
Nyatanya, semesta menyetujui dan angan mama terwujud, dengan diterimanya saya di Kota Semarang, menjadikan mama dapat melihat pemandangan Semarang, tanpa hanya berangan. Lawang Sewu menjadi destinasi pertama bersama mama. Pernakah merasa bahagia sekaligus sedih secara bersamaan? Itulah yang saya rasakan saat berkunjung ke Lawang Sewu, Semarang. Ceritanya, mama akan meninggalkan Semarang esok hari, sehingga kami memutuskan datang di malam hari sebelu mama pergi. Saat itu ramai pengunjung dan langit pucat pasi, seakan semesta tahu, hari-hari selanjutnya akan dipenuhi rindu yang sulit untuk berhenti. Saya berharap menemukan atmosfer yang berbeda, apalagi Lawang Sewu tersohor akan kisah mistisnya. 


Untungnya, saat itu mama punya waktu lebih di Semarang. Lebih seru lagi, Lawang Sewu berlokasi tak jauh dari tempat saya menginap, dengan taksi daring, saya hanya butuh waktu sekitar 5 menit untuk sampai di bangunan tua yang berlokasi di sisi timur Tugu Muda Semarang ini. Kunjungan pertama saya sekitar pukul 19.00. Setelah saya beli tiket masuk, seorang bapak mendekat dan menyapa ramah. “Mau saya pandu, Mba?”

Tak kalah ramah, saya membalas, “Terima kasih, Bapak. Saya jalan sendiri saja.” Bukan saya tak menghargai si bapak pemandu. Saya hanya ingin menemukan dan merasakan sendiri suasana bangunan yang pernah bertahun-tahun mangkrak tak berpenghuni ini. Namun, karena penasaran, saat melewati pintu pemeriksaan tiket, saya bertanya ke petugas tentang tarif jasa pemandu. Kata petugas, umumnya pengunjung memberikan Rp 50 ribu untuk jasa didampingi berkeliling kompleks ini selama sekitar satu jam.


Yang ada di pikiran saya waktu itu, kita dapat bertanya ke petugas seputar alur kunjungan supaya tak ada bagian bangunan yang terlewat. Kita juga bisa mencuri-curi dengar penjelasan pemandu saat menemani tamu lain. Saya pun menyusuri satu demi satu bagian bangunan bekas kantor perusahaan kereta api swasta pada masa pemerintahan Hindia-Belanda ini. Sesekali saya berjalan sendiri. Tak jarang saya merapat ke rombongan tamu yang didampingi pemandu.

Bangunan ini bernama asli Het Hoofdkantoor Van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatscappij. Perusahaan inilah yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia, menghubungkan Semarang dengan Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) dengan rute pertamanya, jalur Semarang Tanggung. Sesaat setelah kemerdekaan RI, Lawang Sewu digunakan sebagai kantor Perusahaan Kereta Api, kemudian militer mengambil alih gedung ini. 
Namun, sekarang Lawang Sewu telah kembali ke tangan PT KAI. Bangunan tua ini sempat dipugar lalu dikelola sebagai museum pada tahun 2011. Wisatawan bisa berkunjung mulai pukul 07.00 pagi sampai 09.00 malam. Harga tiket pada akhir pekan dan hari kerja tak berbeda, Rp 10 ribu untuk dewasa dan Rp 5 ribu untuk anak-anak dan pelajar. Koleksinya sangat lengkap, berkaitan dengan perkeretaapian di Indonesia. Di sini juga terdapat foto dan video proses pembangunan hingga rehab Lawang Sewu

Lawang Sewu memang berarti “Pintu Seribu”. Namun, banyak yang salah duga. Sewu itu ternyata hanya simbol untuk bangunan yang memiliki sangat banyak pintu ini. Jumlah sebenarnya diperkirakan 429 pintu. Begitulah orang Jawa, sesuatu yang jumlahnya sangat banyak kerap disebut “sewu” macam Coban Sewu dan Grojogan Sewu. Sebagian pintu merupakan jalan keluar-mbauk area ruangan. Sebagian pintu lainnya adalah perantara antar  ruangan. 


Memasuki satu demi satu bagian gedung ini seakan dibawa ke masa lampau karena atmosfer waktu lampaunya sungguh kuat. Arsitektur kolonial dengan atap yang sangat tinggi memberi udara yang yang cukup segar untuk pengunjung di dalam ruangan. Banyaknya jendela dan pintu juga memaksimalkan pencahayaan di dalam ruangan pada siang hari. Oya, material bangunan ini pada mbaa itu didatangkan langsung dari Belanda dan Italia. 

Bangunan utama (gedung A) Lawang Sewu terdiri atas tiga lantai dengan dua sayap membentang di bagian kanan dan kiri. Sayangnya, saat ini pengunjung umum hanya boleh menjelajahi lantai satu. Akses menuju lantai dua dan tiga ditutup dengan alasan kelestarian bangunan. Kabarnya, untuk kepentingan khusus seperti prewedding, pengunjung boleh naik dengan izin dan tarif khusus. Yang menarik di tangga utama gedung ini adalah kaca patri jendela yang lebar dan tinggi berhias gambar dua perempuan Belanda.


Sedangkan yang paling menyedot pengunjung di gedung B adalah ruang bawah tanah. Area itu konon dahulu merupakan tempat menyekap tawanan. Pengunjung nekat juga gemar uji nyali di sini. Namun, kini pengunjung sudah tak diperbolehkan masuk. Saya sempat mengintip dari pintu lorongnya yang dibiarkan terbuka. Tangga turun telah dilepas. Yang tampak adalah ruang gelap dan pengap. Sebagai obat kecewa, di gedung B kita bisa naik ke lantai dua dan tiga. Coba juga sensasi naik ke loteng. 

Kunjungan saya siang itu berakhir di gedung C. Di sini terdapat benda-benda peninggalan Belanda. Ditayangkan juga film dokumenter di salah satu ruangan yang saat itu sepi pengunjung. Entah mengapa, jadi merinding sendiri berlama-lama di sini. Segera saya keluar gedung dan duduk di bawah sebuah pohon rindang. Minum air putih, merasakan embusan angin, dan menikmati musik yang dimainkan sekelompok musisi. 
Lalu, bagaimana dengan hantu-hantu yang dikisahkan kerap muncul? Petugas-petugas yang saya tanya mengaku tak mendengar cerita atau melihatnya lagi. “Itu mungkin dulu, Mba, waktu gedung ini masih tidak terurus. Namanya bangunan tidak berpenghuni dan bertahun-tahun mangkrak, bisa saja ada penghuninya. Tapi sekarang, sejak dipugar dan rapi seperti ini, sudah aman kok,” terang petugas keamanan di pintu keluar.

 “kalau mama sempat nanti kita kesini lagi ya?”
Ah, lagi-lagi mama memberi kejutan bagi saya. Menyadarkan, bahwa waktu sudah berlalu begitu cepat, dengan banyaknya kondisi yang nantinya akan sulit ditebak.

Itulah, kunjungan pertama saya ke Lawang Sewu bersama mama. Malam ditutup oleh suasana Lawang Sewu yang megah, diiringi pelukan mama dan tangisan haru di mobil, seraya wejangan untuk belaku baik di kota orang pun tak lupa untuk mama berikan kepada saya.  


Komentar

Postingan Populer