BAKMI BASKORO, ENAK

Di Indonesia tentunya sudah sangat mengenal berbagai macam mie atau mi, bahan makanan asal negeri Tiongkok yang populer dalam beragam bentuk masakan.

Konsep yang sama dapat kita telusuri dalam coretan sejarah kehadiran bangsa Tiongkok dalam rangka perdagangan dan migrasi ke Nusantara. Tak pelak turut ada di dalamnya pengaruh di tempat mereka memulai hidup baru, yang sudah tentu salah satunya adalah bahan makanan dan olahannya.
Karena sifatnya seperti bahan karbohidrat lainnya yang netral, tentunya mudah untuk mengolah mie dan menggabungkannya dengan banyak pilihan lauk pauk yang sesuai dengan selera lokal.

Di Jawa Tengah, proses akulturasi rasa dalam hidangan mie ini terjadi secara alamiah dan melahirkan sebuah hidangan regional yang khas. Bahan dan bumbu asing yang sebelumnya dibawa untuk mengakomodir selera asal. Kemudian bertemu dengan beberapa bahan lokal yang membentuk sebuah harmoni rasa baru demi mengakomodir selera lokal.



Bakmi yang secara harafiah berarti mie yang disajikan dengan daging, dimasak dengan campuran kemiri, kacang mete, kaldu dan daging ayam kampung, bawang putih, telur bebek, dan kecap manis (untuk versi goreng), ternyata menyuguhkan aroma dan rasa yang sangat ‘nggak Tiongkok’.

Semarang bulan Agustus akhir, mereka adalah sebuah pasangan yang selalu punya cerita. Di bulan ini, Semarang pada siang hari terasa begitu terik dan malam hari tak pernah gagal membuat kita menggunakan baju panjang dan mengusap badan. Angin serasa bisa masuk dari celah baju dan memeluk tubuh yang merindukan kehangatan, malam yang dingin tak pernah berteman dengan perut kosong yang seharian tak diberi makanan. Sudah tak sabar rasanya ia untuk diisi dengan berbagai macam makanan yang ramai dijajakan.

Handphone saya bergetar, terlihat ada pesan masuk dari mama saya. Saya dan dia memang menggemari berwisata kuliner. Biasanya ketika sedang bersama kami selalu menyempatkan untuk mencicipi satu kuliner khas. Malam itu saya berencana untuk menikmati kudapan yang sangat dia sukai saat berada di Semarang yakni, Bakmi Jawa. Favoritnya adalah sebuah warung di Jalan Baskoro.

Matahari mulai turun ke peraduan seraya ditemani suara adzan berkumandang. Saya mengendarai motor untuk mencari makan. Beberapa ratus meter setelahnya, di sebelah kiri jalan terdapat sebuah warung emperan, yang bertuliskan Bakmi Jawa

Malam itu, warung Bakmi tak terlalu ramai namun sudah ada beberapa pembeli. Terlihat sekitar 6 orang sudah mendapati bakmi di hadapan mereka. Warung ini dijalankan oleh Ibu dan Bapak. Bapak adalah orang yang memasak bakmi dan Ibu bertugas untuk menerima order, memberikan garnish, dan mengantarkan makanan ke meja saya.
Saya lalu menyapa Ibu dan Bapak dan saling bertukar senyum, mereka mungkin familiar dengan saya karena mama sangat sering kesini dan bercerita banyak dengan Ibu.

Bapak membuat Bakmi Jawa satu per satu, porsi per porsi. Saya memperhatikan dengan seksama bagaimana ia menyiapkan komponennya, dimulai dari memotong daun bawang, menyuir daging ayam yang digantung, memotong kubis dan menghamburkannya, mengambil seporsi mie dan bihun. Setelah itu barulah ia menuangkan minyak, menumis bumbu halus, menambahkan telur bebek dan menyiram kuah kaldu. 
Lalu menambahkan komponen komponen yang sebelumnya terlah ia persiapkan. Potongan daun bawang, ayam, kubis serta helai helai mie ia rebus bersama. Sedikit mengaduk-aduk, Bapak lalu membiarkan rebusan tadi mendidih sebentar. Setelah dirasa cukup, Bapak menuangkan seporsi bakmi godhog tadi ke sebuah mangkok dan Ibu bertugas mempercantik makanan tersebut dengan menambahkan bawang goreng di atasnya.

Bakmi godhog tersebut diantarkan sampai ke hadapan saya. Asap masih terlihat menggambarkan betapa panasnya bakmi itu. Ketika saya hirup aromanya, bisa terbayang kenikmatannya walau belum terasa oleh lidah. Harum. Dari penampakannya, bakmi ini sangat gurih, terlihat dari penggunaan telur bebek yang membuat kuah sedikit berwarna kekuningan dan keruh. Tak cukup dengan melihatnya, saya mulai seruput pertama dan ekspresi saya langsung mengisyaratkan kebahagiaan. Kuah gurih, hangat, penuh bumbu dan rasa melewati mulut yang seharian berpuasa itu seperti menemukan permata dalam saku celana. Menyenangkan ! Saya lanjut dengan suapan kedua, ketiga dan seterusnya.
Saya juga teringat, bagaimana mama tak mau kalah, kala ia menikmati Bakmi Godhog nya dengan menambahkan cabe hijau dan memotongnya menggunakan sendok. Ia menyukai bakminya sedikit lebih pedas, tak seperti saya yang lebih memilih merica ketimbang cabai hijau. Ekpresi bahagia pun datang dari wajah cantiknya, seketika dia bilang, "Enak! Enak! hmmm". Melihatnya begitu, saya hanya bisa tersenyum gembira.

Ah kenangan lagi..

Makin khusyuk saya menikmati semangkok Bakmi itu, mie nya terasa kenyal, tidak mblenyek dan beberapa kali sempat kami merasakan "krenyes" dari kubis dan daun bawang. Telur bebek memang paling cocok jika disajikan dalam sebuah bakmi jawa. Ia mengangkat rasa menjadi sangat gurih, dan memberikan warna dalam masakan tersebut.

Bakmi dalam mangkok saya berkurang dengan cepat, ternyata saya benar benar kelaparan. Suasana dingin kota Semarang  menambah kenikmatan semangkok Bakmi yang kita santap. Diselangi ingatan perbincangan dengan mama, saya sempat tersadar dan mendapati bahwa saya terkena dejavu. Sebab, saya duduk di pojok yang familiar, dan benar saja, pojok itu adalah tempat yang sama ketika saya pertama kali saya makan bersama mama. Kenangan kenangan itu satu per satu datang ke kepala dan hidup kembali. 

Masih teringat pakaian yang mama kenakan, makanan apa yang kami pesan, dan hal hal lainnya. Setelah itu, mama selalu datang kesini dan sekarang mama sudah pulang, jauh dari Semarang. Alangkah bahagianya. Sempat saya berpikir, "Mengapa mama suka makan disini ya?"
Nanti, akan saya coba tanya alasannya, mengapa mama sangat menyukai bakmi disini


Komentar

Postingan Populer