stuck on you

Surat-suratnya sudah aku kemas rapih ya, Afi. Sudah aku letakkan di almari paling bawah, agar suatu saat tersapu pun aku sudah lupa perihal surat yang aku tulis dengan sepenuh hati.

Memang benar ya, tidak perlu menunggu hitungan bulan untuk menyakiti seseorang, cukup hitungan detik dapat dijadikan bukti kecil bahwa kamu menyakiti aku lagi.

Malam ini, kenangan silih berganti. Semua memori selalu ingin aku kenang tetapi tanpa ada kesakitan didalamnya, bisakah?

Tentang tangan lembut yang menggenggam di tepi jalan, tentang senyum yang tidak pernah pudar, tentang tawa halus yang mengobati kerinduan, nyatanya tidak bertahan lama. Orang barumu sudah menunggu di depanmu, Fi.

Ia menunggu kamu memberi kabar ketika bersamaku, menunggu kamu mengucap mesra bersamaan kamu mengatakan sayang padaku, menunggu kamu untuk kembali ke pelukan, walau cinta kalian sudah kandas di tengah jalan.

Aku mencintaimu sudah bertahun-tahun, bukan cinta yang harus bertahan lama dan didambakan oleh insan muda sebab aku mengais cintamu secara diam-diam, bahagiamu bukan terporos dengan aku, tetapi aku dengan tinggi hati, selalu berharap menjadi sosok yang dinanti.

Malam itu, kamu datang ke rumah. Upaya membangkitkan kenangan kita yang sudah terperosok jauh disana. Bercerita tentang kita sambil bersandar di bahumu yang kekar, tanganmu yang halus, serta peluk yang kau sediakan. Sayangnya, kita menikmati pelukan di ujung waktu bukanlah sebuah peluk kerinduan, hanya peluk kehampaan serta keputusasaan yang menegaskan jika kita sebatas kekasih di masa lalu yang memaksa untuk bersatu. Ini bukanlah sebuah pembenaran, hanya sebuah paksaan yang dinilai sebagai kemustahilan.

Sikapmu yang terlalu ramah pada banyak hati, yang membuat aku harus banyak-banyak belajar mengobati diri.  Kamu yang ingin bersamaku, tetapi orang barumu tidak ingin kau pergi menjauh.

Maaf, jika semalam aku memohon kepadamu untuk cepat pulang agar hilang dari peredaranku. 
Maaf, aku tidak sanggup menahan sesak yang menyesakkan ketika melihat ia bersamamu. 
Maaf aku meninggalkanmu di depan pintu. 
Maaf aku membiarkan air mata mengalir di pipimu, tanpa menyekanya. 
Maaf, air mataku jatuh di kaosmu.
Maaf, aku menutup pintu terlalu keras.


Kita tidak tahu apa yang menunggu kita di depan kan, Fi? Kita berencana, tetapi Tuhan yang menentukan. Tidak perlu khawatir untuk kedepannya, jika sudah saatnya berpisah, aku pastikan, bahwa aku akan pamit, dan menyemogakan setiap doa kita yang terbaik


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer