Kenangan Tentang Malam yang Selalu Terngiang
4 Januari, senja tenggelam dengan sempurna. Berhias
jingga dengan semburat keemasan memanggil sang malam untuk menjemput lelah.
Aku menikmati senja tenggelam di restoran di tengah kota bersama sepiring nasi goreng. Bukan makanan yang buruklah untuk menemani malamku yang melelahkan setelah menghabiskan hari-hari lalu bersama anak sasian.
Aku menikmati senja tenggelam di restoran di tengah kota bersama sepiring nasi goreng. Bukan makanan yang buruklah untuk menemani malamku yang melelahkan setelah menghabiskan hari-hari lalu bersama anak sasian.
Awalnya, aku ragu untuk datang. Tetapi kakakmu yang
menggebu, memaksa aku untuk melangkah keluar dengan hati yang tak karuan.
Hujan di bulan Januari, seakan menyambut kita yang
sedang berelegi dibawah semburat kecemasan akan harap. Apakah aku akan berlabuh pada cintamu, nanti?
Disini, kuperhatikan setiap sudut restoran ini,
dengan interior sederhananya, sang pemilik menata dengan sangat apik.
Kayu yang paling mendominasi dan hanya dengan sedikit meja membuat mereka yang tak suka kebisingan bisa menghabiskan sisa hari tanpa terganggu.
Hingga mataku terhenti pada kamu, yang sedang berhadapan denganku, kamu dengan seriusnya sedang memperhatikan layar indah yang mengeluarkan sinar penuh warna itu.
Kayu yang paling mendominasi dan hanya dengan sedikit meja membuat mereka yang tak suka kebisingan bisa menghabiskan sisa hari tanpa terganggu.
Hingga mataku terhenti pada kamu, yang sedang berhadapan denganku, kamu dengan seriusnya sedang memperhatikan layar indah yang mengeluarkan sinar penuh warna itu.
Wajah seriusmu terlihat begitu manis, bersamaan dengan
sikapmu yang berat bibir, pelengkap aku yang ceriwis.
Di meja persegi ini, terdapat kakakmu yang mempunyai
obsesi untuk menyatukan kita. Wajahnya sumringah, sebab ia berharap kepada
kita. Mau tak mau aku tanggapi segala harapannya dengan gurauan khas diriku, sedangkan
kamu, diam dengan wajah merah jambu.
Dalam diam, aku memperhatikanmu. Dahimu terlihat
berkerut, sepertinya kamu sedang berdebat dengan diri sendiri. Entah apa yang
sebenarnya sedang kamu kerjakan hingga begitu menyita perhatianmu dan seakan
menarik diri untuk menenggelamkan diri pada ponselmu. Terkadang senyum kecil terukir
di bibirmu dan jari-jarimu kembali menari menuangkan apa yang kamu fikirkan.
Saat aku sedang asyik-asyiknya tenggelam dalam
pesonamu…
Tiba-tiba saja, kakakmu dengan segala
kesengajaannya, meninggalkan kita berdua. Ia berdalih ada keperluan yang tak
bisa ditunda, padahal aku tahu, ia bermaksud agar keakbraban menyelimuti kita.
Tidak usah diduga, tentunya suasana canggung mulai tercipta
Hingga aku yang tak tahan dengan keheningan, mulai
membuka percakapan, dan kamu tiba untuk mendengarkan..
Tidak butuh waktu lama, perbincangan yang
menyenangkan mengalir diantara kita, oh nyatanya.. kamu adalah orang yang
menyenangkan, pendengar yang baik penuh kesantunan!
Terkadang, saat kita sedang bertukar cerita, kala itu, aku melihat kamu.
Kamu sesekali menatap ke seberang meja untuk merilekskan diri, atau sesekali mencondongkan badanmu untuk mendengarkan aku dan sesekali kamu menyandarkan bahu pada kursi dengan senyum yang masih terekam baik, diingatanku.
Terkadang, saat kita sedang bertukar cerita, kala itu, aku melihat kamu.
Kamu sesekali menatap ke seberang meja untuk merilekskan diri, atau sesekali mencondongkan badanmu untuk mendengarkan aku dan sesekali kamu menyandarkan bahu pada kursi dengan senyum yang masih terekam baik, diingatanku.
Aku pun tak menampik bahwa kamu mempunyai mata yang
tajam tapi meneduhkan.
Astaga…
Aku sungguh malu.
Segera kubuang tatapanku untuk melihat lainnya dan
kembali mencoba berkosentrasi dengan motif meja kayu, sebab ponsel kukesampingkan dan sengaja tak kuacuhkan untuk mendapat kesan baik darimu.
Aku rasa ini sedikit aneh.
Tak biasanya aku begitu tertarik untuk memperhatikan
lawan jenisku dengan begitu berminat.
Akan tetapi, kamu dengan pakaian sederhana, yang hanya serius dengan ponselmu, mengapa bisa begitu menarik?
Mungkin kamu sebagian dari sedikit hiburan buatku, karena
terlalu lelah dengan segala kewajiban yang harus terselesaikan…
Kira-kira pukul sembilan malam, kakakmu kembali, dan kita bertiga memilih untuk
pulang.
Kurapikan barang bawaanku, lalu kutinggalkan sebuah
senyuman manis di restoran ini, sebagai pengingat bahwa zona ini menjadi saksi bisu antara aku
dan kamu pernah bertemu.
Akupun langkahkan kakiku untuk pulang. Kututup kepulanganku dengan melihatmu sebentar dan ku beri senyum kecil ketika tak sengaja tatapan kita bertemu.
Akupun langkahkan kakiku untuk pulang. Kututup kepulanganku dengan melihatmu sebentar dan ku beri senyum kecil ketika tak sengaja tatapan kita bertemu.
Selamat malam untuk kamu yang tak bisa kusebutkan namanya...
Jika beruntung mungkin lain waktu kita bisa bersua dengan leluasa...Rencana Tuhan, kadang sulit ditebak, bukan?
,nice article,
BalasHapusPenjiwaan pas nulis berasa. Kesannya pengalaman pribadi yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Ini pengalaman pribadi atau terinspirasi karya sastra?
BalasHapusAda sedikit kesalahan minor dalam bahasa tapi tidak berpengaruh terhadap penyampaian konten.
Ntap ah
BalasHapusKeren gan..
BalasHapuspembuat artikelnya mendalami banget :(
BalasHapus