Teruntuk Hindu-ku yang Sempat Singgah.


 "Jadilah penyemangatku selalu"
Itulah yang dulu pernah saya minta dari lelaki ini.

Disini, aku. Menyepi. 
Lelaki yang berkat kehadirannya membuat saya begitu bersemangat membuka mata kala matahari masih malu-malu menampakkan diri. Namun, itu hanyalah sebatas kenangan yang masih mengendap dalam ingatan. Walau sekeras apapun diusir. Ia tetap bergelantungan dengan kuatnya.

Ia adalah seorang lelaki yang pernah ber-angan dalam nostalgia untuk menjadi satu-satunya yang kelak akan terus saya genggam erat tangannya, ia dahulu pernah memimpikan menjemput masa depannya bersama saya.

Lelaki ini lah yang pernah membuat saya tersipu malu ketika ia berikan ucapan selamat pagi. Lelaki inilah yang mengajak saya berkencan dalam selimut kenaifan, yang terkadang terkenang dalam sebuah pikiran, yaitu kerinduan.
Lelaki ini lah yang pernah tenggelam dalam perhatian tentang saya seolah tak ingin bangkit...


Namun, nyatanya.... saya salah, saya kini memeluk tubuh saya sendiri. Meronta, menahan dengan sejuta isakan yang kadang diam tak bersuara, meringkuk kesepian, serta berusaha menenangkan tangis yang sewaktu-waktu dapat pecah.

Saya yang dulu, pernah bahagia, kini tengah sibuk mengutuk diri sendiri. Mengapa saya bisa terlampau jatuh pada ia yang ternyata begitu ramah pada banyak hati.

Keputusan ia untuk memilih gadis beruntung lainnya, membuat saya tak lagi mencintai matahari. 

Saya memilih tenggelam dalam hujan, karena dalam hujan saya menemukan ia, sang lelaki-ku di dalamnya. Hujan seakan menurunkan segala ingatan akan malam dimana saya dan ia pernah saling mengisi sepi. Di dalam hujan, saya dapat merasakan ruas-ruas jarinya yang kosong, dingin, membeku..

Dan saya kini jatuh sebab kehilangan kehangatan yang pernah saya rasakan. 

Saya kehilangannya...

Saya tak ingin membenci ia atau gadis beruntung itu. Saya hanya tak tahu bagaimana saya bertahan dalam terpaan angin beku atas dinginnya sikap lelaki-ku.
Saya hanya kehilangan cara bagaimana mendapatkan lagi hangat hari-hari yang saya dapatkan darinya.
Saya kehilangan diri saya sendiri yang seakan ikut terbawa bersama kepergiannya.

Sekarang, saya dan lelaki ini seperti dua magnet dengan kutub yang senama, tolak-menolak. 
Saling menghindar seperti tak pernah saling menemani dalam ratusan malam yang sepi. 
Ia melupakannya dan saya tetap tak beranjak walau punggung lelaki ini tak lagi dapat terlihat lagi

Dahulu, saya dan lelaki ini pernah begitu dekat, pernah sehangat nafas, sedekat nadi walau tak akan sehidup semati. 
Kini saya dan lelaki ini menciptakan dingin yang tak berbatas bagai laut lepas.


Sesungguhnya saya ingin undur diri untuk mencari kehangatan-kehangat dari nafas lainnya. 
Hingga...saya sudah menemukannya, walau tak sehangat nafasnya, sang Hinduku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer