you, back.

Teruntuk kamu yang nantinya membaca ini, aku tak ingin kamu beranggapan bahwa aku menulis ini karena kamu memintaku untuk menuliskan perihal kita.. Yang perlu kamu tahu bahwa aku menulis ini, karena hari ini tiba-tiba saja aku begitu merindukanmu.

Mari kita ingat sejenak masa ketika pertama berjumpa.
Siang itu terik. Ketika tatapanmu bertemu milikku dari seberang jalan . Ah ternyata kamu bersama teman-temanmu, ragu-ragu aku tersenyum, dan kamu balas tersenyum. Rasanya siang itu terlalu berharga buatku, entah bagaimana denganmu. Segera, aku memberanikan diri mengirim dirimu pesan, yang akhirnya membuat kita saling bertegur sapa di esok harinya. Kata-kata manis, selalu kamu lontarkan. Perhatian-perhatian yang tak hentinya kamu berikan membuatku merasa nyaman, meski itu hanya sekedar pesan pesan singkat yang kamu kirim lewat ponselmu. Aku bahagia bisa mengenalmu lebih dekat. Aku bahagia bisa selalu menjadi orang pertama yang tahu keadaanmu. Kehadiranmu membuatku merasa berbeda. Pada saat itu, entah mengapa aku ingin selalu bersamamu. Mungkinkah aku sudah benar-benar jatuh cinta padamu?


Akan tetapi, aku hanya memperoleh kebahagiaan semu. Semuanya berakhir tanpa mampu kukendalikan bagaimana seharusnya ia berjalan. Aku terhempas dengan begitu keras saat gelombang datang tanpa pernah kuduga. Sampailah, pada titik dimana kita hanya bisa menelan marah. Aku mengisi iri, kau memuntah pasti, semua tentang janji. Di hari itu, kita sama-sama melipat kata-kata serta meninggalkan memar dalam mata, untuk masing-masing. Aku menyesal telah berpuas diri ketika kamu mencurahkan perhatian seluruhnya padaku. Padahal, tanpa kusangka kamu membagi itu padanya. 
Hingga, suatu ketika kamu memilih dia untuk dijadikan tempat berlabuh dan aku mesti tersingkir di tempat yang tak seharusnya kusentuh. Aku, yang seharusnya tetap berada dalam dunia kita, kini terbuang kembali ke dunia sunyi senyap. Dan kamu, tetap pada duniamu. Jarak sepertinya terbentang begitu jauh mengantarai kita. Bahkan untuk sekedar mendengar suaramupun tak bisa kulakukan lagi. Banyak sekali kenangan yang masih membekas di otakku. Entahlah, kadang aku sangat ingin melupakannya ketika kenangan itu mendadak terjun bebas ke dalam pikiran. Di sisi lain aku tidak ingin melupakannya begitu saja. Bagaimana denganmu, Fi?


Masih tentang purnama yang merindu. Tak kusaksikan lagi hadirmu seperti dulu, tak kulihat lagi langkahmu di koridor sambil mencuri pandang terhadap gerak-gerikku tanpa kau ingin aku tahu. Memang untuk berpisah tak perlu ucapan selamat tinggal sebagai tanda atas jejak yang harus dihapuskan. Tak perlu lagi melihat ke belakang jika memang harus ditinggalkan sebagai pelajaran. Maka kuputuskan untuk mengenangmu hanya sebatas penggal tangkai bunga yang tak perlu lagi kusiram, ku biarkan mahkotanya kering dan berguguran lalu hilang dalam terpaan angin yang entah akan kemana.
Bukankah pernah kau katakan padaku bahwa kau akan selalu menemani? Mengisi hari-hari dengan banyak hal berarti. Tak pernah kusangka salah satu hal yang berarti bagi kita berdua adalah perpisahan yang sungguh menyesakkan ini.

Untuk kesekian kali, aku harus belajar mengikhlaskan. Belajar melepaskan. Belajar bahwa kisah kita akan senyap di dalam keabadian.

Ingin sekali aku memelukmu dan memohon agar kau tetap tinggal dan tak pernah menghilang. Namun hubungan kita rasanya tak bisa lagi diharapkan. Ketika salah satu dari kita mulai mencoba memaksa untuk bertahan, hanya penyesalan yang akan datang. Tidakkah kau tahu betapa membutuhkannya aku akan dirimu saat itu? Bukannya aku memaksamu untuk selalu di sisi, namun aku tak pernah begitu mencintai pria sedalam ini. Perpisahan kita hanya menyisakan beberapa goresan yang makin terasa perih dan nyeri setiap kali aku merasa letih.


Dan kini, entah apa yang merasuki dirimu. Sejak perpisahan kita telah menginjak 2 tahun, engkau kembali datang. Dadaku sesak, tenggorokanku tercekat. Aku tak sanggup mengungkapkan apa yang terpendam dan ingin meledak, aku tak percaya. Sebab pada bagian abjad pertama, aku sering menyebutmu dalam diam, dalam sekilas pandangan mataku sebelum terlelap, dalam secangkir rindu pada kopiku tiap malam, dalam rinai hujan senja yang tak pernah kulewatkan.
Kata-katamu yang spontan dan abstrak langsung meluluhkan kerasnya hatiku.

Aku memang belum benar-benar melupakanmu, Fi…

Aku berharap kita akan terus seperti ini. Aku berharap mentari akan selalu bersinar dengan ucapan selamat pagimu. Aku berharap akan terus ada kisah yang akan kita bagi bersama. Aku mengharapkan itu dan kamu pun begitu, Dulu.
Ya, itu dulu. Dulu, saat kamu masih mengharapkan hal yang sama denganku. Dulu, saat kamu masih berbahagia denganku. Dulu, saat aku masih mampu membuatmu tetap di sisiku.
Tapi nyatanya itu hanyalah masa lalu.

Jadi sekarang, izinkan aku untuk mengenangmu yang seperti dulu.
Kalau masih boleh berkata, aku masih menginginkan cerita seperti dulu itu berlanjut. Tak mesti sekarang, mungkin nanti. 
Nanti ketika aku benar-benar sudah pantas untuk bisa mencintai dan kamu pun sudah sanggup untuk menggenapkanku. Ketika kita sudah menyadari jika berdua itu lebih baik. 

Sudahlah. Aku percaya semua kisah sudah tertulis akhirnya. 
Hanya saja, aku tak mengerti keadaan ini. Apakah aku sudah berada di akhir kisah atau masihkah aku menjadi pemeran dalam sebuah kisah. Yang aku tahu, kamu hanya sudah pergi sekarang. Dan aku hanya ingin mengenangmu seperti yang dulu, di saat sekarang.


Komentar

Postingan Populer