Learn, to let go.

Aku duduk di sebagian ruangan yang sepi dan dingin, sebab aku ingin merasakan sekali lagi dinginnya tatapanmu sekarang.

Rasanya masih sulit dipercaya bahwa kita berdua berada pada titik ini, aku yang sedang mengingat-ingat kembali semua yang pernah kita lakukan. Tingkah lakumu pun dapat kubaca dengan jelas. Ponselmu yang tak berhenti berdering, matamu yang melihat jam tangan setiap menit, dan hela nafas yang begitu berat seolah menandakan bahwa semua ini terasa begitu tak bermakna.

Aku tahu kau begitu ingin cepat berlalu dari hadapanku. Namun setidaknya dengarkanlah permintaanku meskipun itu hanya pura-pura bagimu.

Aku ingin kamu tetap di sini. Temani aku hingga malam berganti

Jangan tinggalkan aku. Tidakkah kau tahu betapa membutuhkannya aku akan dirimu saat ini? Bukannya aku memaksamu untuk selalu di sisi, namun aku tak pernah begitu mencintai pria sedalam ini. Perpisahan kita hanya menyisakan beberapa goresan yang makin terasa perih dan nyeri setiap kali aku merasa letih.

Rasanya aku ingin selamanya berada di sana. Setidaknya aku ingin bersamamu, dengan secangkir float soda. Menatap senyummu adalah hal yang paling kunikmati. Entah mengapa senyum itu kian lama tak lagi nampak menyapa, dan aku hanya bisa bertanya-tanya ada apa…

Dapatkah kau berusaha untuk mengingat kembali bagaimana kita saling terkait? Kuharap memori itu masih dengan jelas mengisi hati

Mari kita ingat sejenak masa ketika pertama berjumpa...

Malam itu dingin, sedingin hari ini. Ketika tatapanmu bertemu milikku dari seberang meja café. Ah ternyata kau mengenal seorang temanku, tanpa ragu, kamu menanyai seputar diriku, entah bagaimana, denganmu bisa menjadikan malamku begitu berharga dan begitu hangat. Hingga aku dengan mudahnya jatuh dalam pesonamu. Sempat kamu menuntut temu di rumahku. Disana, kita menghabiskan waktu untuk mengenal satu sama lain, bersama-sama dibumbui dengan candaan mengundang tawa yang akhirnya membuat kita saling bertegur sapa via pesan di esok harinya. Dan hingga akhirnya kita menyadari bahwa rasa yang kita punyai ternyata sama.


Rasanya sungguh menyiksa jika kita berhenti berjuang di saat dunia masih berputar dengan indahnya
Kini, kita hanya bisa menelan marah. Aku mengisi iri, kau memuntah pasti, semua tentang janji. Di hari itu, kita sama-sama melipat kata-kata serta meninggalkan memar dalam mata, untuk masing-masing. Banyak sekali kenangan yang masih membekas di memoriku. Entahlah, kadang aku sangat ingin melupakannya ketika kenangan itu mendadak terjun bebas ke dalam pikiran. Di sisi lain aku tidak ingin melupakannya begitu saja. Bagaimana denganmu, Gas?


Kemudian semunya berakhir tanpa mampu kukendalikan, bagaimana seharusnya kamu berjalan. Aku terhempas dengan begitu keras saat gelombang datang tanpa pernah kuduga. Aku, yang seharusnya tetap berada dalam dunia kita, kini terbuang kembali ke dunia gelap. Sunyi dan senyap. Dan engkau, tetap pada duniamu. Jarak begitu jauh mengantarai kita. Bahkan untuk sekedar mendengar suaramupun tak bisa kulakukan lagi.

Aku ingin kau tetap di sini. Menemaniku menjalani jenuhnya hari, yang semakin tak berarti
Bukankah pernah kau katakan padaku bahwa kau akan selalu menemani? Mengisi hari-hari dengan banyak hal berarti. Tak pernah kusangka salah satu hal yang berarti bagi kita berdua adalah perpisahan yang sungguh menyesakkan ini.

Untuk kesekian kali, aku harus belajar mengikhlaskan. Belajar melepaskan. Belajar bahwa kisah kita akan senyap di dalam keabadian.

Ingin sekali aku memelukmu dan memohon agar kau tetap tinggal dan tak pernah menghilang. Namun hubungan kita rasanya tak bisa lagi diharapkan. Ketika salah satu dari kita mulai mencoba memaksa untuk bertahan, akan kupastikan bahwa yang datang hanyalah penyesalan

Awan gelap menggantung di angkasa sejauh mata memandang. Tapi rintik hujan tak juga kunjung datang. Sesekali angin bertiup. Entah bersekongkol dengan apa, hingga aku harus menerka. Menerka tentang hujan, dan kamu yang rasanya semakin membayang.
Dan aku harus memaksa diri untuk memandang bayang punggungmu yang semakin lama semakin menghilang


Aku menangis, bukan karena kau pergi. Namun karena aku mulai mengerti, bahwa ada bagian dari dirimu yang tak akan terganti. Aku menangis karena memang itulah caraku melepas beban. Melepas asa yang mungkin tak akan pernah teraba. Menguapkan segala perasaan yang kini berubah menjadi isyarat. Betapa semuanya begitu sayang untuk kubuang.


Bisa saja aku tetap memaksa agar kamu tetap selalu ada, tapi tidak, jika aku memaksamu untuk tinggal, pastilah hanya keheningan yang tersisa, tanpa makna dan rasa. 

Komentar

Postingan Populer