Sad Addiction

Entah janjimu atau harapanku yang terlalu berlebihan. Namun, apapun itu yang berlebihan memang tidak baik. Berlaku pula untuk cintaku yang berlebihan kepadamu. Hingga aku memutuskan untuk membuka hati untukmu.


Sudah sekeras apapun aku berusaha melupakanmu, semakin kupaksa semakin tersiksa. Janji murah yang bila kuingat hanya membuatku jengah. Sudah lama aku merasa lelah, tapi berulang kali batinku berkata aku tidak boleh menyerah. Entah berapa kali aku mencoba ramah, tapi berulang kali pula perbincangan kita selalu berujung marah. Rasanya percuma aku terus mengalah, kamu pun tak pernah merasa bersalah. Egomu yang tak mau terkalahkan, dengan setulus hati aku coba maafkan, tapi niatku yang berbaik hati justru tak pernah mendapatkan pengertian.


Aku pernah begitu benci karena kau tak mau tahu tentang kondisi. Semakin aku mencoba meneriakkan bahwa orangtuaku tak setuju denganmu, dengan teriakkan pula kamu balas bahwa kamu tak mau tahu. Dengan begitu, aku semakin terjerat pula dalam kebimbangan. Hingga cintaku kian sendu, bak bunga yang tengah layu.


Bagaimana aku bisa terjatuh kedalam pelukanmu? Tentu, aku pernah jatuh. Lalu, datanglah kamu mengulurkan jemari, agar aku mampu berdiri dan kau berjanji akan selalu menggenggam tanganku walau apapun yang terjadi. Kamu, diawal pertemuan, seperti menawarkan sebuah minuman yang melegakanku dari kehausan, namun memabukkan. Aku kira, dirimu adalah seorang yang dewasa, yang akan bertindak secara logika, namun nyatanya diriku salah. Kamu adalah seorang pemaksa.

Kamu yang tahu, bahwa orangtuaku tidak setuju jikalau aku menjalankan hubungan dengan pria sebelum studiku selesai.
Akan tetapi, dengan keyakinan bersamamu, aku turuti kamu dengan jalani hubungan ini secara diam.
Hingga, hubungan kita tercium oleh kedua orangtuaku, orangtuaku marah, dan kamu lagi-lagi tak merasa bersalah. 

Kamu memang sempat membuatku terbang, hingga aku lupa bahwa sifat pemaksamu masih tertanam. Kamu suruh aku untuk tetap jalani hubungan denganmu, walau orangtuaku tak menaruh restu, begitu? Aku tak mau jadi durhaka untuk kedua kalinya, sudah cukuplah aku bohongi ibu atas status hubungan kita, aku bilang padanya bahwa kita berteman, ya dahulu ia percaya, kini tidak...

Sudah kukirimkan pula ribuan kata untuk mengingatkanmu tentang hubungan kita jika dilanjutkkan hanyalah berbuah percuma, akan tetapi kamu tetap memaksa, bahwa hubungan kita akan baik-baik saja tanpa restu orangtua.

Aku pernah begitu kecewa karena kamu tak bernalar untuk kedepannya.

"Jatuh cinta", dua kata yang senantiasa beriringan.

Aku pernah cinta, dan sekarang

Aku jatuh

Aku jatuh, tapi aku tidak akan merapuh. Aku mampu berdiri meski tak ada lagi kamu di sini. Sebab hidupku terus berjalan, ada atau tanpa kamu. Barangkali akulah yang paling bersalah, sebab membiarkanmu bersikap seenaknya pada hatiku.

Aku harus menerima bahwa berakhirnya kita adalah nyata.



Teruntuk kamu yang pernah singgah. Aku berterima kasih. Maaf jika selama menjalin kasih, kau tak bahagia. Maaf jika dulu kita lebih sering saling meluka. Tetaplah jadi kamu yang apa adanya. Aku percaya kamu tidak akan lagi bermain, apalagi menyakiti hati yang lain.

Cukuplah komunikasi kita sekadarnya saja, tidak perlu lagi ada bujuk rayu mesra. Maaf jika mulai sekarang, aku akan selalu menolak setiap kamu mengajakku jalan atau makan, aku hanya tidak ingin menjadi pecundang yang sulit melupakan, sebab terlalu banyak kenangan.


Semoga kamu selalu bersikap ramah pada hati lainnya yang kelak akan menjadi rumah, tidak seperti denganku dulu yang sering dihadapkan pada banyak masalah.



Aku titip pesan, untukmu

"Hilangkanlah sikap pemaksamu, sayang. Sebab sebuah hubungan tak lagi nyaman, jika harus dipaksakan. "

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer