MANIFESTASI SOSIOLOGI

SMAN 1 Cilegon bukanlah sebuah bangunan asing, sebab kami berada di tahun kedua, yangmana bangunan itu sudah kami anggap sebagai rumah kedua. Sebagian kehidupan kami dihabiskan di bangunan kuning, berangkat setengah tujuh pagi, dan pulang jam tiga, lepas adzan berbunyi.

            Dan kini, saya ingin memenuhi janji saya kepada si kecil imut nan menjengkelkan, ia minta diceritakan ulang bagaimana keadaan waktu itu melalui kacamata saya, ketikan malam ini diciptakan dari sepuluh jari yang menari-nari ditemani secangkir kopi yang sedikit tak pas takarannya, dan band indie yang kabarnya sudah bubar. Jam pocong sudah berdentang . Namun Sayang,  nyatanya berapa kali pun kamu membacanya, percayalah kenangan ini sudah terkubur lama, ya tulisan ini saya dedikasikan untuk kalian, penduduk sosial dua, terutama Namyra, yang selalu menagih cerita tiap pekannya, maafkan jika cerita ini tidak sesuai kemauanmu ya..



            “Laras, kamu sekelompok dengan Orpa”

Oh Tuhan, guru sosiologi kelas sepuluh kami tidak sedang berguyon untuk membangun gelak tawa siswa yang terkantuk-kantuk di kelas kan? Itu, kata batin saya. Hari Sabtu, pukul setengah sebelas siang, pembagian kelompok untuk penelitian sosial, syarat kenaikan kelas.

Raut wajah guru itu, serius. Tegas dan tidak mau dibantah, seperti biasa. Hanya sebuah sikap ala pemberontak yang berani saya tampakkan lewat air muka kepada guru itu, tanpa mau berkata-kata. Saya menghela nafas tanda keberatan dan mendengus pasrah.

Dan, dimulailah perjalanan kelas sepuluh kami, yang penuh cerita, diawali dari  pencarian judul, perumusan masalah, dan berujung pada analisis data.

Seandainya, kelompok saya sedap, mungkin saya tidak akan mengeluh selama empat bulan..


Tahu tidak? Nama teman yang akan membantu saya itu ialah Orpa, dan ia sangat rajin untuk tidak masuk Sekolah, bisa disebut ia Ratu Alfa...! 

Bagaimana saya tidak lemas? Bagaimana cara saya bekerja sama dengannya, apabila sehari-hari saja sudah tidak pernah melihat batang hidungnya?! Yang berdua saja, masih terlihat kerepotan, bagaimana dengan saya yang sendirian? Tak terbayangkan, saya harus melewat bab-bab, subbab, dan lain sebagainya.

Lupakan tentang Orpa, di tulisan ini saya akan ceritakan bagaimana jatuh bangunnya, manis pahitnya, lelah dan semangatnya, gugup dan percaya dirinya, menangis atau terharunya kami, mengerjakan sebuah laporan penelitian.

Bisa dibilang, kami baru pertama kali berhadapan dengan tugas yang sangat disiplin, mulai dari jadwal konsultasi yang mesti rutin, pengerjaan yang harus rapih, realistis tanpa diracuni imajinasi, detail yang sangat diperhatikan, nganggur sedikit dibilang tidak kerja, banting tulang dengan segala referensi yang ada, dan haruslah berhadapan dengan penghitungan angket yang tidak ada habisnya. 

Terkadang, semua itu membuat satu kelompok, yang terdiri dari dua orang siswa, menjadi bertengkar, emosi yang kadang meledak tanpa batas, kata-kata pedas terlontar tanpa sadar, dimana perkataan itu membuat sang korban menangis dalam diam, dan pelaku diselimuti rasa salah yang mendalam.

Awal bulan Januari, kami cari judul yang sekiranya mampu kita teliti, ekspetasi masih tinggi, adanya antusiasme di wajah kami, rajin cek sana-sini, konsultasi tanpa henti, dan berjanji kepada rekan untuk saling bahu membahu, dan stok waktu untuk bersantai masih banyak. Saya lihat, dari pandangan saya, kelompok lain baik-baik saja, lancar-lancar saja, mudah sekali berbagi tugas.

Oh nyatanya, ketika, saya melihat diri saya.  Saya memang sendirian, sedang duduk dengan menyedihkan di kursi putar bersama lagu indie, ditambah koneksi internet kadang terhenti, ide melayang tanpa ada yang menarik, judul yang masih terombang-ambing, dan pikiran untuk menyerah kadang meracuni diri.

           Bulan Januari, saya lewati dalam keadaan frustasi.


“Nam, sumpah gue pusing banget, gaada yang bisa diajak berbagi tentang ni masalah penelitian, harus gue yang nelen bulet-bulet. Ide-ide gue, ketikan-ketikan gue, penjelasan pas konsultasi juga gue gak ngerti, haduh pusing”

“Ye, dikira lo doang? Berbagi berdua mah tetep aja susah, pengennya mah gue sewa jasa tulis!” omel Namyra seperti biasa.

Di bulan kedua, yaitu Februari. Wah, bukannya ada kemajuan dalam meneliti sepertinya malah minat mengerjakan penelitian sudah mulai menurun. Mereka yang dahulu asyik dengan laptopnya, kini mulai mengesampingkan laptopnya, yang dahulu tak henti mendesak “ayo, mulai bab 2 yuk” 
kini sudah jarang terdengar, langkah kaki yang dahulu bolak-balik kantor guru, kini sudah tidak terlihat, waktu konsultasi yang dahulu dimanfaatkan di setiap kesempatan hingga berdesak-desakan, kini untuk mengantri tidak butuh waktu lama.

Bisa disimpulkan, bahwa bulan kedua penelitian dianggap sudah menjenuhkan, membosankan, terlalu rumit, dan kita butuh istirahat sejenak, tanpa sadar kita telah melewati waktu yang berharga dengan berleha-leha.

Tanpa terasa, kita memasuki bulan ketiga. Bulan dimana saya, sudah ingin menyerah dengan keadaan, penelitian tidak selesai-selesai, stuck di satu halaman atau malah banyak halaman, terdapat perbedaan pendapat dari dua guru, satu guru membenarkan, satu guru menyalahkan format, atau malah sebaliknya, dilemma mau mengikuti saran guru senior atau mengikuti saran guru yang mengajar di kelas saya, fokus saya yang sudah buram, irinya saya melihat kelompok yang bekerjasama, setidaknya mereka tidak memikul beban sendirian.

Penderitaan saya pun mulai bertambah, ketika ada pemberitahuan bahwa 2 minggu lagi laporan harus memasuki tahap revisi terakhir, sudah berbentuk print out, bukan lagi soft copy, air mata jatuh tanpa bisa ditahan, tulang bagaikan remuk menjadi beberapa bagian, teman sekelompok yang egois tak mau tahu perkembangan, melihat kelompok lain sudah benar, dan saya hanya bisa menikmati euphoria karena laporannya sudah diterima. Berbanding terbalik dengan ekspresi muak saya, tentang segala hal yang berbau penelitian.

Tiap hari ke Café, minum kopi sehari tiga kali, menikmati wifi hingga waktu tutup Café, tak jarang saya mendapat tatapan sinis, dan komentar pedas dari sang pramusaji.
“Beli minum ngga seberapa, tapi kok ya nongkrong berjam-jam” komentar sudah biasa saya dengar.

Jangan salahkan saya dong! Ini tugas juga bukan saya yang buat, masih untung saya ke café ini!” batin saya bergolak, tak terima di judge semena-mena


Tidur larut, pukul dini hari, lalu bangun pukul enam pagi, belum ditambah tugas pemberian guru bidang pelajaran lain, yang membuat terhambatnya pengerjaan penelitian.

Guru sosiologi pun mendesak kami untuk menyerahkan dengan segera. Jika tidak, nilai kami yang menjadi taruhan, kami panik, ketar-ketir, emosi, resah, tergesa-gesa, dan dan tak tahu arah.
Di saat itu, kami merasakan seminggu layaknya tiga hari, terlalu cepat, dan ingin waktu diperlambat.


            “Sumpah, ngeprint malam-malam gini dimana coba?” ujar Namyra
            “Hardcover yang cepet dimana ya?” ujar Sari
            “Uang gue abis gara-gara beginian, sampis” ujar Namyra (lagi)
            “Gue belum ngitung angket sampe selesai anjir” ujar Della
            “Presentase jumlah, gua asal lah” ujar Isky
            “IH PENGEN NANGIS” kata Merlin
            “Gak sudi, kalau nilai gue dibagi dua!” ujar Laras.
“Cara buat daftar isi kayak gimana sih?” Orien dan Dian bertanya
Laras, minta tolong settingin halaman dong!”Azzah dan Reza meminta

Ya, kiranya celotehan kita seperti itu menjelang H-2 deadline, saya yang sudah menyerah di akhir, meminta bantuan Rizki Tri Putra. Untungnya, ia bersedia, Pagi pukul tujuh di hari Minggu, ia sudah mengedit hasil penelitian saya, di beranda rumah, ditemani bapak yang sedang olahraga.

Format pengetikan yang sesuai pun selesai, budget sudah habis, dompet sudah kempis, print tak berwarna satu lembar seribu, dan saya memiliki sepuluh halaman dengan diagram berwarna, yang artinya saya harus membayar dua ribu per satu lembar. TOTAL HALAMAN LAPORAN PENELITIAN SAYA ADALAH 70 LEMBAR!

            . Orpa tidak datang lagi, dan saya sudah tidak berharap ia menemani! Anggap ini adalah ujian yang fantastis!

            Setelah itu….

            Hari revisi terakhir pun sudah tiba, saya tak henti-hentinya memanjatkan doa agar diberi kelancaran yang semoga berakhir pada perkataan “silahkan Arlina, kamu boleh hardcover”

            Tiga puluh menit,setelah dikumpulkan, saya berada di kantin, lalu saya putuskan untuk ke kelas.

            Lho kok, laporan saya ada di meja guru, bersama sepuluh buah laporan lainnya?

            “Yang ada di meja guru, disuruh revisi lagi, dikasih waktu tiga hari!” kata Gesti, sang sekretaris
ALLAHUAKBAR!

 Di laporan saya, kini ada lingkaran tinta merah yang indah, dimana lingkaran itu memunjukkan sebuah tulisan….

 Ah, saya kurang teliti, penggunaan istilah Bahasa inggris, tidak saya cetak miring, dan itu fatal!
Dan saya anggap ia adalah guru korektor yang sangat perfeksionis untuk ukuran guru zaman sekarang!

            JADI BERAPA BIAYA YANG PERLU SAYA KELUARKAN LAGI?!
            70 LEMBAR, DITAMBAH MENCETAK HARDCOVER.


Risau.
Kesal
Gundah
Yasudahlah…


Saya pun mulai meneliti kembali, edit, edit, edit, edit, baca ulang baca ulang baca ulang, samakan atas samakan bawah samakan samping kanan samakan samping kiri,
saat feeling saya sudah pas, kini waktunya untuk hardcover..
Semoga diterima, itu doa saya setiap pagi bangun tidur, dan di setiap malam mau tidur.

DAN AKHIRNYA!
SETELAH MENUNGGU LAMA
PERIBAHASA BERSAKIT-SAKIT DAHULU BERENANG KETEPIAN, MEMANG BENAR ADANYA
PENELITIAN SAYA AKHIRNYA DI ACC, ALHAMDULLILAH.
PERASAAN SENANG MEMBUNCAH
DAN SENYUMAN BANGGA, SELALU TERSUNGGING DI BIBIR SAYA


Yah, kiranya saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada Rizki Tri Putra, selaku pengedit tiap ketikan yang saya ciptakan.

Terimakasih kepada Namyra, yang sudah mensupport saya dengan segala omelannya yang ditujukan kepada sang pemberi tugas penelitian

Terimakasih kepada duo-pas. Yaitu Kartika dan Mutiara, terimakasih kalian sudah membuat saya menjadi orang yang mudah dengki atas kelancaran penelitian kalian.

Terimakasih kepada Azzah dan Reza, yang lebih dulu diterima laporannya, daripada saya.

Terimakasih kepada Merlin, rekan menangis bersama, sebab rekan kita tak ada empatinya.

Terimakasih yang terakhir, kepada kebaikan guru sosiologi kami, karena dengan sabar membimbing kami, mengajari kami, dan tak bosan-bosannya meladeni kami saat kami mengajukan pembicaraan yang tidak relevan. Maaf jika, guyonan kami tidak seimbang dengan pengerjaan, Maaf jika air muka yang kami tunjukkan kepada ibu kadang tidak bersahabat, maaf jika ada ucapan kami yang menyinggung ibu. Anggaplah kami ini generasi pengeluh.




Tertanda,
Laras


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer